Pages

Tuesday, August 28, 2012

Paris the beginning: Le Rêve

Andika Rinaldo Asry, end of summer 2011.

HORE GW KE LUAR NEGERI AKHIRNYA.


Norak memang kalimat awalnya, tapi itu lah yang ada di otak waktu sekitar minggu ketiga di bulan April 2011 sekitar beberapa menit sebelum masuk waktu solat subuh. Sebuah e-mail yang udah ditunggu hampir dua minggu terakhir akhirnya masuk juga ke push mail di BB. Ngarep, tapi ya ngga ngoyo kalo kata orang Jawa. Tapi ternyata harapan itu kali ini sesuai dengan ekspektasi tertinggi. Kalimat yang diawali dengan basa-basi a la suatu institusi penyedia beasiswa pun sudah tidak lazim lagi buat gw. Tapi kali ini di bagian kalimat yang dicetak tebal beda, ada kata congratulations nya! Yak, gw keterima beasiswa penuh pertukaran mahasiswa ke Paris untuk satu semester dari Erasmus Mundus (akhirnya). Entah tujuh atau delapan aplikasi serupa ke berbagai institusi sudah gw ajukan dalam dua tahun terakhir, dan selalu ada kata-kata unfortunately atau sorry udah kaya kartu lebaran aja masuk ke e-mail gw. Dua minggu setelah pagi itu pun gw dapat surat serupa, satu institusi tapi beda program, surat penerimaan beasiswa serupa ke Barcelona, tapi untuk dua semester. Lucu rasanya apa yang gw dapetin waktu itu, dulu gw tidak diinginkan mereka, sekarang mereka kepincut ke gw hehhee. Setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya gw putusin pilih program yang di Paris, dan terpaksa lepas rezeki ke Barcelona itu. Then the journey began!


29 Agustus 2011 gw dianterin sama sahabat-sahabat SMA dan keluarga di Bandara Soekarno-Hatta. Entah kenapa bulan Agustus di tahun itu jadi salah satu bulan paling emosional buat gw. Sekitar dua minggu sebelumnya, teman-teman super baik gw pun melepas kepergian gw dari Bandara Adi Sucipto Yogyakarta. Berasa film Armageddon aja. Seumur-umur gw selalu membayangkan gimana rasanya pergi ke negara orang. Beda kebudayaan, bahasa, tradisi, dan semuamuanya. Dari kecil gw selalu tertarik sama geografi negara-negara Dunia. Bokap pun ngga mau biayain gw ke luar Indonesia, dia suruh cari sendiri gimana caranya bisa ke negara orang. Sekitar jam setengah satu pagi di hari itu akhirnya gw masuk ke pesawat Emirates, perjalanan sekitar 6 jam ke Dubai gw tempuh. Gw udah diwanti-wanti sama bokap yang udah beberapa kali ke bandara Dubai bahwa di sana itu gedenya gede banget bandaranya, jadi setelah clearance checking di sana, langsung cek dulu counter check-in penerbangan gw. Dan bener bandara Dubai besar dan bagus banget! Capek juga jalan ke counter penerbangannya karena di ujung banget letaknya. Gw transit selama 3 jam di sana. Ketika boarding gate dibuka dan satu persatu penumpang dipanggil, gw udah stand by di ruang tunggu. Sempat hampir ga naik pesawat, karena tinggal gw sendiri di ruang tunggu. Dengan agak panik gw tanya ke petugas, kenapa gw belom dipanggil juga, padahal kan penumpang kelas ekonomi harusnya dipanggil terakhir,tapi seat bagian gw ga dipanggil juga. Ternyata gw harusnya duduk di kelas bisnis dong, bokap diem-diem transfer skywards dia ke tiket gw, dan jadilah gw berasa jadi raja selama 6 jam di pesawat hhe.


Sekitar jam setengah satu siang waktu Paris akhirnya gw tiba di Bandara Charles de Gaulle. Setelah ambil bagasi dan ke imigrasi, gw langsung keluar menemui mas Rahmat yang ngejemput gw sekaligus menyediakan kamar di apartemen dia selama gw kuliah di Paris. Bandara Paris biasa aja ternyata. Hari itu cukup cerah walaupun suhunya masih agak dingin buat gw. Kami naik kereta RER-B, semacam KRL jarak jauh yang melayani rute Paris dan daerah pendukung sekitar Paris atau Jabodetabek lah kira-kira. Hari itu kebetulan hari terakhir puasa, tapi berhubung gw musafir, jadi bolong deh. Berarti malam itu harusnya takbiran, dan untuk pertama kalinya gw ga bisa denger suara takbiran sama sekali dari dalam kamar. Apartemen gw di sana itungannya agak jauh, karena gw dapetnya di banlieu sekitar 12 KM dari pusat kota Paris.



Hore Lebaran! Keesokan paginya gw dan mas Rahmat berangkat ke KBRI Paris untuk solat ied. Agak aneh rasanya ngga nyium aroma khas ketupat ketan, sambel ati balado, opor ayam, rendang, sama sayur buncis buatan nyokap. Si Aussie udah sampe di Paris beberapa jam lebih dulu dari gw, dan dia juga tinggal di apartemen yang berbeda sama gw, jadi kita belom ketemu sama sekali. Mas Rahmat ngebawa gw ke Eiffel dulu sebelum akhirnya kita ke KBRI. Kebetulan KBRI negara kita di Paris itungannya berlokasi di daerah elit, cuma 5-7 menit jalan kaki dari menara Eiffel, dan memang kawasan mahal. Untuk first-timer, gw disarankan untuk turun di stasiun metro Trocadéro; yang bisa dicapai dengan metro ligne 6 atau 9; alih-alih di stasiun metro Bir-Hakeim untuk mencapai Eiffel. Keluar dari stasiun metro pun gw masih belum melihat si 'menara-mirip-sutet' yang terkenal itu, dan gw dikasi tahu bahwa gw bakal surprised kalau datang dari arah stasiun metro itu, karena ngga keliatan sama sekali, padahal harusnya Eiffel itu keliatan dari mana pun karena ngga ada gedung pencakar langit di sekitarnya, yang merupakan kebijakan pemerintah setempat untuk menjaga keeksisan dari si menara. Sampai akhirnya setelah ngelewatin gedung museum yang agak besar di dekat sortie dari metro, gw dikasih hadiah lebaran di pagi itu yang harusnya udah terang kalau di Indonesia, tapi ini masih baru nongol mataharinya. Alhamdulillah


Foto perdana yang backgroundnya Menara Eiffel hhe

Setelah solat ied di bawah tanah dari gedung KBRI Paris, gw mulai lah berkenalan sama orang-orang Indonesia lainnya di sana. Setelah selesai solat ied, gw dan teman-teman berpencar. Gw, Aussie, Lucky, dan beberapa anak UGM yang kebetulan ketemu di sana dan baru saja memulai kuliah program Masternya, mampir ke Eiffel lagi, dan rencana awalnya main ke apartemen Aussie sebelum akhirnya mampir ke kampus kami selama di Paris:  Institut d'études politiques de Paris atau populernya disebut Sciences Po Paris. Sorenya kami mendapat undangan open house dari pak Dubes di rumahnya. Gw, Aussie, dan Lucky dengan (sok) pedenya bilang ke anak Indonesia lainnya kalau kami akan menyusul dan ketemu di sana aja langsung. Dengan modal navigo carte dan peta mini yang gw ambil kemarin sore di stasiun metro, kami pergi ke sana. Gw masih beradaptasi dengan sistem per-metro-an di Paris; yang sampai sekarang akhirnya gw kagum sama sistem integrasinya!; begitu pun Aussie dan Lucky. Turun lah kami di Porte Maillot dengan menggunakan metro ligne 1. Dari situ, biasa lah fase turis kan nih masih hari-hari pertama nyampe, langsung amazed liat sekitar (padahal ngga ada objek yang terlalu menarik), foto beberapa kali, dan akhirnya baru lah sadar kita ngga tau harus ke mana lagi. Kartu telepon lokal belum ada yang punya, apalagi mau cek GPS dari handphone. Bahasa Prancis juga pas SMA kena remediasi terus, les intensif pun cuma sebulan sebelum berangkat. Mati lah nyasar sampai sekitar 5 kali! Nanya sekitar juga ngga ada yang bisa bahasa Inggris. "Vous parler anglais?" itu aja modal kami selama nyasar yang artinya "Anda bisa berbahasa Inggris?", yang ada malah dijawab pake bahasa Prancis juga. Sampe sempat gw sengaja mendatangi pasangan suami istri muslim di jalan, terus sok-sok'an bilang assalamualaikum dulu dan nyapa "Bonjour madame et monsieur!" setelahnya, dan mereka tetap aja ternyata ngga bisa bahasa Inggris dan ngga tahu alamat yang kami maksud. Mungkin sekitar 45 menit kami nyasar, sampai akhirnya ketemu orang yang kami sepakat adalah malaikat. Seorang bapak paruh baya umur awal 60-an gw rasa, yang kami temui di salah satu jalan sepi waktu nyasar. Dia berbahasa Inggris sangat lancar dan rasanya kami bahagia banget setelah ngga ada satu orang pun yang emang entah ngga bisa atau malas berbahasa Inggris.
 Si bapak ini familiar dengan alamat yang kami tuju, dia menunjukkan setiap detailnya dengan rinci. Kami pun bergegas menuju jalan yang dimaksud. Sesuai dengan yang dia bilang patokannya, dan sampai akhirnya...nyasar lagi. Sempat terpikir untuk pulang aja lah langsung, karena udah mentah banget lebarannya gara-gara nyasar, tapi mau balik juga bingung karena ini udah bukan zona 1 Paris lagi, dan stasiun metro terdekat itu cukup jauh, harus naik bus dulu, tapi belum ngerti rute waktu itu sama sekali. Di salah satu perempatan, si Bapak itu muncul lagi. Dia kebingungan kok kami bisa nyasar lagi, kebetulan jalan nyasar itu searah sama rumah si Bapak. Dia pun nunjukkin jalan lagi, kali ini jauh lebih detail. Dari situ mulai terkikis stereotype orang Prancis yang selama ini nempel di kepala sebagai bangsa yang cuek, sombong, dan ngga ramah. Si Bapak cerita dia pernah main ke Indonesia waktu akhir tahun 80an, sambil bercerita pun kami dianterin jalan ke jalan yang udah tinggal lurus doang ke rumah dinas Dubes. Gw lupa siapa nama dia, tapi kami sempat foto bareng karena dia lah akhirnya kami bisa ketemu rendang dan komplotannya hhe.
 Open house Idul Fitri di rumah Pak Dubes


Untuk posting pertama tentang Paris segini aja dulu deh. Nanti gw lanjut lagi yang temanya tentang keunikan Kota Paris yang mungkin kurang banyak diekspos.


1 comments:

  1. kerennn abiss gila sumpah dehhh,, itu impian besar saya jgaa. :) Bagaaimana caranya?? saya perlu bimbingan heheh

    ReplyDelete

 

Blogroll

http://andikarinaldo.tumblr.com/ http://annisaukh.blogspot.com/ http://aussieandry.tumblr.com/ http://deowijaya.tumblr.com/ http://estriaputri.tumblr.com/

Total Pageviews